Aksara Bali adalah aksara kedua bagi tiga juta warga Bali. Akan tetapi jumlah kepustakaan dalam aksara Bali di dunia komputer sangat langka. Untuk mempopulerkan lagi aksara Bali di kalangan generasi yang akan datang, diperlukan usaha komputerisasi teks secara lengkap.
Usaha tersebut telah dimulai dengan memasukkan karakter aksara Bali ke dalam standard Unicode versi 5.0. Hal ini memungkinkan pertukaran data teks aksara Bali secara internasional dan menciptakan landasan bagi perangkat lunak global yang mempergunakan aksara Bali. Namun masih belum ada font aksara Bali yang memenuhi standard Unicode baik dari segi penggunaan encoding Unicode maupun pelaksanaan aturan penulisan aksara Bali yang benar secara visual dan logical. Aksara bali merupakan aksara kompleks sehingga tidak dapat direpresentasikan dalam bentuk font biasa. Karenanya tugas akhir ini disusun untuk menciptakan font 'cerdas' aksara bali yang dapat memenuhi seluruh kriteria di atas.
Perangkat lunak yang dibangun dalam tugas akhir ini dinamakan smart font Bali Galang. Smart font Bali Galang merupakan font TrueType aksara Bali dengan encoding Unicode yang ditambahkan program khusus sehingga mampu melaksanakan perilaku kompleks aksara Bali dengan tetap mempertahankan kesesuaiannya di dalam memory komputer. Smart font Bali Galang hanya dapat berfungsi dengan baik dalam aplikasi yang telah terintegrasikan mesin Graphite. Namun karena sifatnya yang open source, baik smart font Bali Galang maupun aplikasi-aplikasi yang mendukungnya dapat diperoleh dengan cuma-cuma dan dapat didistribusikan dengan bebas. Pengembangan smart font ini diharapkan dapat menjadi langkah awal dalam melestarikan aksara Bali yang kini sudah semakin jarang digunakan.
Aksara Bali adalah huruf tradisional masyarakat Bali dan berkembang di Bali. Aksara Bali merupakan suatu abugida yang berpangkal pada huruf Pallawa. Aksara ini mirip dengan aksara Jawa. Perbedaannya terletak pada lekukan bentuk huruf.
Aksara Bali berjumlah 47 karakter, 14 di antaranya merupakan aksara suara atau vokal. Aksara wianjana atau huruf konsonan berjumlah 33 karakter. Aksara wianjana Bali yang biasa digunakan berjumlah 18 karakter. Juga terdapat aksara wianjana Kawi yang digunakan pada kata-kata tertentu, terutama kata-kata yang dipengaruhi bahasa Kawi dan Sanskerta.
Meski ada aksara wianjana Kawi yang berisi intonasi nada tertentu, pengucapannya sering disetarakan dengan aksara wianjana Bali. Misalnya, aksara dirgha (pengucapan panjang) yang seharusnya dibaca panjang, seringkali dibaca seperti aksara hresua (pengucapan pendek).
Daftar isi |
[sunting] Warga aksara
Osthya | Dantya | Murdhanya | Talawya | Kanthya |
Suatu aksara dikelompokkan menurut dasar pengucapannya dan disebut warga aksara. Dalam aturan menulis aksara Bali, ada 5 warga aksara yang utama, yaitu:[1]
- Kanthya. Warga kanthya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit dekat kerongkongan. Beberapa di antaranya termasuk konsonan celah suara. Yang termasuk warga kanthya adalah konsonan velar/guttural dan glotal. Huruf konsonan yang termasuk warga kanthya terdiri dari: Ka (k), Ga (g), Ga gora (gh), Nga (ng). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga kanthya adalah A.
- Talawya. Warga talawya adalah kelompok fonem yang berasal dari langit-langit mulut. Yang termasuk warga talawya adalah konsonan palatal. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Ca murca (c), Ca laca (ch), Ja (j), Ja jera (jh), Nya (ny), Sa saga (sy). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah I.
- Murdhanya. Warga murdhanya adalah kelompok fonem yang berasal dari tarikan lidah ke belakang menyentuh langit-langit. Beberapa di antaranya termasuk fonem rongga gigi. Yang termasuk warga murdhanya adalah konsonan retrofleks dan alveolar. Huruf konsonan yang termasuk warga murdhanya terdiri dari: Ta latik (ṭ), Da madu (ḍ), Na rambat (ṇ), Sa sapa (ṣ), Ra (r). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga murdhanya adalah Ra repa (Ṛ).
- Dantya. Warga dantya adalah kelompok fonem yang berasal dari sentuhan lidah dengan gigi. Beberapa di antaranya termasuk fonem rongga gigi. Yang termasuk warga dantya adalah konsonan dental dan alveolar. Huruf konsonan yang termasuk warga dantya terdiri dari: Ta (t), Ta tawa (th), Da lindung (d), Da madu (dh), Na kojong (n), Sa danti (s)[2]La (l). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga dantya adalah La lenga (Ḷ).
- Osthya. Warga osthya adalah kelompok fonem yang berasal dari pertemuan bibir atas dan bawah. Yang termasuk warga oshtya adalah konsonan labial. Huruf konsonan yang termasuk warga talawya terdiri dari: Pa (p), Pa kapal (ph), Ba (b), Ba kembang (bh), Ma (m), Wa (w). Sedangkan huruf vokal yang termasuk warga talawya adalah U.
[sunting] Aksara suara (vokal)
Aksara suara disebut pula huruf vokal/huruf hidup (vowel) dalam aksara Bali. Fungsi aksara suara sama seperti fungsi huruf vokal dalam huruf Latin. Jika suatu aksara wianjana diberi salah satu pangangge aksara suara, maka cara baca huruf wianjana tersebut juga berubah, sesuai dengan fungsi pangangge yang melekati huruf wianjana tersebut.
Aksara suara | |||||||
Warga | Aksara suara hresua (huruf vokal pendek) | Nama | Aksara suara dirgha (huruf vokal panjang) | ||||
Aksara Bali | Huruf Latin | Aksara Bali | Huruf Latin | ||||
Kantya (tenggorokan) | | A | [a] | | Ā | [ɑː] | |
Talawya (langit-langit lembut) | | I | [i] | | Ī | [iː] | |
Murdhanya (langit-langit keras) | | Ṛ | [ɹ̩] | | Ṝ | [ɹ̩ː] | |
Dantya (gigi) | | Ḷ | [l̩] | | Ḹ | [l̩ː] | |
Osthya (bibir) | | U | [u] | | Ū | [uː] | |
Kanthya-talawya (tenggorokan & langit-langit lembut) | | E | [e]; [ɛ] | | Ai | [aːi] | |
Kanthya-osthya (tenggorokan & bibir) | | O | [o]; [ɔ] | | Au | [aːu] |
[sunting] Aksara wianjana (konsonan)
Aksara wianjana disebut pula konsonan atau huruf mati dalam aksara Bali. Meskipun penulisannya tanpa huruf vokal, setiap aksara dibaca seolah-olah dibubuhi huruf vokal "a". Selama aksara wianjana tidak dibubuhi aksara suara (huruf vokal: i, u, é, o, ě, ai, au), maka aksara tersebut dianggap dibubuhi vokal "a". Jika menulis dengan huruf latin, kata "na" merupakan gabungan dari huruf konsonan /n/ dan vokal /a/. Dalam aksara Bali, kata "na" disimbolkan dengan satu huruf saja, bukan gabungan dari huruf konsonan "n" dan vokal "a".
Dalam bahasa Bali, huruf Ha tidak dibaca saat digunakan pada permulaan kata. Biasanya, meskipun dalam penulisan kata menggunakan huruf Ha, desahannya tidak timbul, yang diucapkan hanya vokalnya saja. Contohnya, dalam penulisan kata "Hujan", dipakai huruf Ha di depan kata. Namun pada saat membaca kata "Hujan", orang Bali lebih memilih tidak mengucapkan desahan kata "Hu", melainkan hanya mengucapkan huruf vokalnya saja, yaitu "U". Jadi yang diucapkan adalah kata "Ujan".[3]
Aksara Ardhasuara adalah semivokal. Kata ardhasuara (dari bahasa Sanskerta) secara harfiah berarti "setengah suara" atau semivokal. Dengan kata lain, aksara ardhasuara tidak sepenuhnya huruf konsonan, tidak pula huruf vokal. Yang termasuk kelompok aksara ardhasuara adalah Ya, Ra, La, Wa. Gantungannya termasuk pangangge aksara (kecuali gantungan La), yaitu nania (gantungan Ya); suku kembung atau guungan (gantungan "Wa"); dan guwung atau cakra (gantungan Ra). Kata-kata yang diucapkan cepat, seolah-olah vokalnya dipangkas, menggunakan gantungan aksara ardhasuara. Contoh kata: "pria" (bukan "peria"); "satwa" (bukan "satuwa"); "satya" (bukan "satiya"); "proklamasi" (bukan "perokelamasi").
Aksara Wianjana (konsonan) | ||||||||
Warga | Pancawalimukha | Ardhasuara (Semivokal) | Usma (Desis) | Wisarga (Desah) | ||||
Tajam | Lembut | Nasal | ||||||
Kanthya (tenggorokan) | (Ka) Ka | (Kha) Ka mahaprana | (Ga) Ga | (Gha) Ga gora | (Nga) Nga | (Ha) Ha | ||
Talawya (langit-langit lembut) | (Ca) Ca murca | (Cha) Ca laca | (Ja) Ja | (Jha) Ja jera | (Nya) Nya | (Ya) Ya | (Śa) Sa saga | |
Murdhanya (langit-langit keras) | | | | | | (Ra) Ra | | |
Dantya (gigi) | (Ta) Ta | (Tha) Ta tawa | (Da) Da lindung | (Dha) Da madu | (Na) Na kojong | (La) La | (Sa) Sa danti | |
Osthya (bibir) | (Ba) Ba | (Bha) Ba kembang | (Pa) Pa | (Pha) Pa kapal | (Ma) Ma | (Wa) Wa |
[sunting] Pangangge
Pangangge (lafal: /pəŋaŋge/) atau dalam bahasa Jawa disebut sandhangan, adalah lambang yang tidak dapat berdiri sendiri, ditulis dengan melekati suatu aksara wianjana maupun aksara suara dan mempengaruhi cara membaca dan menulis aksara Bali. Ada berbagai jenis pangangge, antara lain pangangge suara, pangangge tengenan (lafal: /t̪əŋənan/), dan pangangge aksara.
[sunting] Pangangge suara
Bila suatu aksara wianjana (konsonan) dibubuhi pangangge aksara suara (vokal), maka cara baca aksara tersebut akan berubah. Contoh: huruf Na dibubuhi ulu dibaca Ni; Ka dibubuhi suku dibaca Ku; Ca dibubuhi taling dibaca Cé. Untuk huruf Ha ada pengecualian. Kadangkala bunyi /h/ diucapkan, kadangkala tidak. Hal itu tergantung pada kata dan kalimat yang ditulis.
Pangangge suara | |||||
Warga aksara | Aksara Bali | Huruf Latin | Letak penulisan | Nama | |
Kanthya (tenggorokan) | | ě | [ə] | di atas huruf | |
| ā | [ɑː] | di belakang huruf | ||
Talawya (langit-langit lembut) | | i | [i] | di atas huruf | |
| ī | [iː] | di atas huruf | ulu sari | |
Osthya (bibir) | | u | [u] | di bawah huruf | |
| ū | [uː] | di bawah huruf | suku ilut | |
Kanthya-talawya (tenggorokan & langit-langit lembut) | | é | [e]; [ɛ] | di depan huruf | |
| ai | [aːi] | di depan huruf | ||
Kanthya-osthya (tenggorokan & bibir) | | o | [o]; [ɔ] | mengapit huruf | taling tedung |
| au | [aːu] | mengapit huruf | taling detya matedung |
[sunting] Pangangge tengenan
Pangangge tengenan (kecuali adeg-adeg) merupakan aksara wianjana yang bunyi vokal /a/-nya. Pangangge tengenan terdiri dari: bisah, cecek, surang, dan adeg-adeg. Jika dibandingkan dengan aksara Dewanagari, tanda bisah berfungsi sama seperti tanda wisarga; tanda cecek berfungsi seperti tanda anusuara; tanda adeg-adeg berfungsi seperti tanda wirama.
Simbol | Lafal | Letak | Nama |
| /h/ | di belakang huruf | |
| /r/ | di atas huruf | |
| /ŋ/ | di atas huruf | |
| - | di belakang huruf |
[sunting] Pangangge aksara
Pangangge aksara letaknya di bawah aksara wianjana. Pangangge aksara (kecuali La) merupakan gantungan aksara ardhasuara. Pangangge aksara terdiri dari:
Simbol | Lafal | Nama |
| /r/ | Cakra |
| /ʋ/ | Suku Kembung |
| /j/ | Nania |
[sunting] Gantungan
Karena adeg-adeg tidak boleh dipasang di tengah dan kalimat, maka agar aksara wianjana bisa mati di tengah kalimat dipakailah gantungan. Gantungan membuat aksara wianjana yang dilekatinya tidak bisa lagi diucapkan dengan huruf "a", misalnya aksara Na dibaca "n"; huruf Ka dibaca "k", dan sebagainya. Dengan demikian, tidak ada vokal /a/ pada aksara wianjana seperti semestinya. Setiap aksara wianjana memiliki gantungan tersendiri. Untuk mematikan suatu aksara dengan menggunakan gantungan, aksara yang hendak dimatikan harus dilekatkan dengan gantungan. Misalnya jika menulis kata "Nda", huruf Na harus dimatikan. Maka, huruf Na dilekatkan dengan gantungan Da. Karena huruf Na dilekati oleh gantungan Da, maka Na diucapkan "n".
Gantungan dan pangangge diperbolehkan melekat pada satu huruf yang sama, namun bila dua gantungan melekat di bawah huruf yang sama, tidak diperbolehkan. Kondisi dimana ada dua gantungan yang melekat di bawah suatu huruf yang sama disebut tumpuk telu. Untuk menghindari hal tersebut maka penggunaan adeg-adeg di tengah kata diperbolehkan.[7]
[sunting] Pasang pageh
Dalam lontar, kakawin dan kitab-kitab dari zaman Jawa-Bali Kuno banyak ditemukan aksara-aksara wianjana khusus, beserta gantungannya yang istimewa. Penulisan aksara seperti itu disebut pasang pageh, karena cara penulisannya memang demikian, tidak dapat diubah lagi.[8] Aksara-aksara tersebut juga memiliki nama, misalnya Na rambat; Ta latik; Ga gora; Ba kembang; dan sebagainya. Hal itu disebabkan karena setiap aksara harus diucapkan dengan intonasi yang benar, sesuai dengan nama aksara tersebut. Namun kini ucapan-ucapan untuk setiap aksara tidak seperti dulu.[9] Aksara mahaprana (hembusan besar) diucapkan sama seperti aksara alpaprana (hembusan kecil). Aksara dirgha (suara panjang) diucapkan sama seperti aksara hrasua (suara pendek). Aksara usma (desis) diucapkan biasa saja. Meskipun cara pengucapan sudah tidak dihiraukan lagi dalam membaca, namun dalam penulisan, pasang pageh harus tetap diperhatikan.
Pasang pageh berguna untuk membedakan suatu homonim. Misalnya:
Aksara Bali | Aksara Latin | Arti |
| asta | adalah |
| astha | tulang |
| aṣṭa | delapan |
| pada | tanah, bumi |
| pāda | kaki |
| padha | sama-sama |
[sunting] Aksara maduita
Aksara maduita khusus digunakan pada bahasa serapan. Umumnya orang Bali menyerap kata-kata dari bahasa Sanskerta dan Kawi untuk menambah kosakata. Contoh penggunaan aksara maduita:
Aksara Bali | Aksara Latin | Arti |
| Yang telah sadar | |
Yuddha | perang | |
| Bhinna | beda |
Dengan melihat contoh di atas, ternyata ada huruf konsonan yang ditulis dua kali. Hal tersebut merupakan ciri-ciri aksara maduita.
[sunting] Angka
Aksara Bali | Aksara Latin | Nama (dalam bhs. Bali) | Aksara Bali | Aksara Latin | Nama (dalam bhs. Bali) | |
| 0 | Bindu/Windu | | 5 | Lima | |
| 1 | Siki/Besik | | 6 | Nem | |
| 2 | Kalih/Dua | | 7 | Pitu | |
| 3 | Tiga/Telu | | 8 | Kutus | |
| 4 | Papat | | 9 | Sanga/Sia |
Menulis angka dengan menggunakan angka Bali sangat sederhana, sama seperti sistem dalam huruf Jawa dan Arab. Bila hendak menulis angka 10, cukup dengan menulis angka 1 dan 0 menurut angka Bali. Demikian pula jika menulis angka 25, cukup menulis angka 2 dan 5. Bila angka ditulis di tengah kalimat, untuk membedakan angka dengan huruf maka diwajibkan untuk menggunakan tanda carik, di awal dan di akhir angka yang ditulis.
Di bawah ini contoh penulisan tanggal dengan menggunakan angka Bali (tanggal: 1 Juli 1982; lokasi: Bali):
Aksara Bali | Transliterasi dengan Huruf Latin |
| Bali, 1 Juli 1982. |
Pada contoh penulisan di atas, angka diapit oleh tanda carik untuk membedakannya dengan huruf.
[sunting] Tanda baca dan aksara khusus
Ada beberapa aksara khusus dalam aksara Bali. Beberapa di antaranya merupakan tanda baca, dan yang lainnya merupakan simbol istimewa karena dianggap keramat. Beberapa di antaranya diuraikan sebagai berikut:
Simbol | Keterangan |
| Carik atau Carik Siki. Ditulis pada akhir kata di tengah kalimat. Fungsinya sama dengan koma dalam huruf Latin. Dipakai juga untuk mengapit aksara anceng. |
| Carik Kalih, disebut juga Carik Pareren. Ditulis pada akhir kalimat. Fungsinya sama dengan titik dalam huruf Latin. |
| Carik pamungkah. Dipakai pada akhir kata. Fungsinya sama dengan tanda titik dua pada huruf Latin. |
| |
| |
| Pamada. Dipakai pada awal penulisan. Tujuannya sama dengan pengucapan awighnamastu, yaitu berharap supaya apa yang dikerjakan dapat berhasil tanpa rintangan. |
|
[sunting] Catatan kaki
- ^ Surada, hal. 6-7.
- ^ Susungguhnya Sa termasuk konsonan alveolar, namun secara tradisional dimasukkan ke dalam konsonan dental.
- ^ Tinggen, hal. 16.
- ^ Disamakan saja atau diberi tedung.
- ^ disebut Da madu murdania.
- ^ Jarang ditemukan dalam aksara Bali. Disamakan saja dengan Da madu murdania, hanya diberi tedung.
- ^ Tinggen, hal. 27.
- ^ Simpen, hal. 44.
- ^ Tinggen, hal. 7
[sunting] Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
[sunting] Pranala luar
- (id) Celah-Celah Kunci Aksara Bali. Oleh: I Nengah Tinggen (babadbali.com)
- (id) Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Bali dan Huruf Latin. Oleh: I Nengah Tinggen (babadbali.com)
|
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Bali"
Peralatan pribadi
Ruang nama
Varian
Tampilan
Tindakan
Cari
Navigasi
Komunitas
Wikipedia
Cetak/ekspor
Kotak peralatan
Bahasa lain
- Halaman ini terakhir diubah pada 16:03, 3 Juni 2010.
- turan baku penggunaan hanacaraka
- Penggunaan (pengejaan) hanacaraka pertama kali dilokakaryakan pada tahun 1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf latin bagi teks-teks berbahasa Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton Sriwedari ("Ketetapan Sriwedari"), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari, Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi "Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.
- Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam mempelajari tulisan hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun 1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-sekolah di ketiga provinsi tersebut.
- Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar + imbuhan).
- 5. Perubahan Aksara Pallawa ke Aksara-Aksara Nusantara
- 6. Perbandingan aksara Jawa dan aksara Bali
Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasar Hanacaraka gaya Bali, aksara-aksara dasar- 7. Penulisan Aksara Jawa dalam Cacarakan Sunda
- Ada sedikit perbedaan dalam Cacarakan Sunda dimana aksara "Nya" dituliskan dengan menggunakan aksara "Na" yang mendapat pasangan "Nya". Sedangkan Aksara "Da" dan "Tha" tidak digunakan dalam Cacarakan Sunda. Juga ada penambahan aksara Vokal Mandiri "É" dan "Eu", sandhangan "eu" dan "tolong"
- 8. Penggunaan aksara Hanacaraka
Bahasa Jawa dalam huruf Jawa dipakai pada papan nama jalan di Surakarta.- Aksara hanacaraka masih diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah berbahasa Jawa sampai sekarang [2] (Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), sebagai bagian dari muatan lokal dari kelas 3 hingga kelas 5 SD.[3] Walaupun demikian, penggunaannya dalam surat-surat resmi/penting, surat kabar, televisi, media luar ruang, dan sebagainya sangatlah terbatas dan terdesak oleh penggunaan alfabet Latin yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom menggunakan aksara Jawa. Penguasaan aksara ini dianggap penting untuk mempelajari naskah-naskah lama, tetapi tidak terlihat usaha untuk menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari. Usaha-usaha revivalisasi bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada penulisan nama jalan atau kampung. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya usaha ke arah pengembangan ortografi/tipografi aksara ini.[3]
- 9. Integrasi Hanacaraka ke dalam sistem informasi komputer
- Usaha-usaha untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem informasi elektronik telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem van der Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap anggota aksara Jawa memiliki kode yang khas yang diakui di seluruh dunia.
- Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara ini ke Unicode pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998. Selanjutnya, Jason Glavy membuat "font" aksara Jawa yang diedarkan secara bebas sejak 2002 dan mengajukan proposal pula ke Unicode. Di Indonesia Yanis cahyono membuat font aksara jawa pada tahun 2001 yang diberi nama aljawi sekaligus software installernya [4],hampir bersamaan disusul Ermawan Pratomo membuat hanacaraka font pada tahun 2001, Teguh Budi Sayoga pada tahun 2004 telah pula membuat suatu font aksara Jawa untuk Windows (disebut "Hanacaraka") berdasarkan ANSI. Matthew Arciniega membuat screen font untuk Mac pada tahun 1992 dan ia namakan "Surakarta".[5] Yang terbaru adalah yang digarap oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006), yang dapat diekspor ke dalam html.
- Baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini. Baru semenjak masa ini mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna. Aksara Jawa Hanacaraka saat ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar pada tanggal 1 Oktober 2009.[6] Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese) pada Unicode 5.2.0 adalah di alamat heksadesimal A980 sampai dengan A9DF (desimal: 43392-43487).
Kenapa aksara bali wianjana dibaca dari ha ke nya,bukan dari nya ke ha????
BalasHapus